Dewasa ini, globalisasi dimaknai dengan konsep “ikatan dan hubungan ketergantungan” (Tomlinson, 2004: 11-13). Türkiye dan Indonesia dipisahkan jarak sekitar 16 ribu kilometer (10 ribu kilometer jika diukur melalui udara). Ketika saya mulai mengenal mahasiswa Indonesia yang mengikuti “Diplomacy Programs” di Institute for Strategic Thinking (SDE), saya awalnya terkejut melihat kesamaan budaya mereka dengan orang Türkiye dalam banyak hal. Selain tradisi-tradisinya, minat para mahasiswa dalam pelajaran, kerja keras mereka, dan yang terpenting adalah latar belakang mereka sangat mirip dengan orang Türkiye dan menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Sebagai seorang antropolog sosial, setelah melakukan sedikit penelitian tentang topik ini, saya segera menyadari bahwa hal ini tidaklah aneh. Pada titik tertentu, kemiripan budaya tidak lagi terikat pada konsep jarak, namun juga dipengaruhi oleh kedalaman ikatan sejarah dan agama.
Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi untuk memainkan peran penting dalam perekonomian dan politik dunia di masa depan.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Dengan jumlah penduduk mencapai 280 juta jiwa, saat ini Indonesia merupakan negara dengan pemerintahan demokratis terpadat di dunia islam yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Dengan kekayaan sumber daya alam dan manusianya, Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama dunia dalam beberapa tahun mendatang. Mengkaji sejarah merupakan usaha menemukan dan mencapai suatu tempat dalam dunia kita sendiri. Makna-makna yang disimpulkan membantu kita lebih mengenali diri dan membuat kita kembali pada diri kita sendiri(Blanchot, 2000: 5-6). Memahami Indonesia dan sejarah hubungannya dengan Türkiye dapat membantu kedua bangsa untuk melihat ke depan dengan lebih percaya diri, sehingga sinergi yang tercipta akan membuka pintu menuju banyak peluang baru.
Catatan sejarah menunjukan hubungan Indonesia dan Türkiye sudah ada semenjak 500 tahun lalu.. Penguasa Ottoman Yavuz Sultan Selim (1470-1520) memperluas perbatasan kesultanan 2,5 kali lipat dalam waktu 8 tahun, dan pada tahun 1517 menaklukkan Mesir dan membawa Khalifah dan Relikui Suci ke Istanbul. Melalui peristiwa ini, khalifah-khalifah Ottoman mengambil peran pemersatu dan pelindung di seluruh Dunia Islam, serta menjadi pelindung Mekah dan Madinah. Peran khalifah-khalifah Ottoman ini berlanjut hingga tahun 1924, ketika kekhalifahan dihapuskan.
Türkiye bersama dengan India berkontribusi secara tidak langsung dalam penyebaran Islam di Indonesia dan sekitarnya.
Kendati tidak begitu populer, Türkiye secara tidak langsung berperan dalam islamisasi Indonesia dan sekitarnya. Setelah ekspedisi Mahmud Ghaznavid, penguasa Türkiye pertama yang menggunakan gelar “Sultan” pada abad ke-11, ke India, Islam mulai menyebar di India dan Malaysia. Meskipun pedagang Arab mulai datang ke Indonesia pada abad ke-8, penyebaran Islam di tanah-tanah Indonesia juga terjadi melalui para pedagang Muslim di Malaysia dan India sejak awal abad ke-12.
Pada tahun 1514, tepat sebelum Yavuz Sultan Selim menaklukkan Mesir, Kesultanan Aceh Darussalam didirikan di bawah kepemimpinan Cihan Shah di bagian utara pulau Sumatera yang merupakan wilayah Indonesia saat ini. (Aceh adalah wilayah otonomi khusus yang terletak di bagian utara pulau Sumatera. Wilayah Aceh berbatasan dengan Laut Andaman dan Selat Malaka di bagian utara, Sumatera Utara di selatan, Samudra Hindia di bagian barat, dan Selat Malaka serta Sumatra Utara di bagian timur). Penduduk di wilayah ini jujur dan berani sebagaimana di seluruh wilayah geografis Indonesia. Pemerintahan ini juga berkontribusi secara besar-besaran terhadap penyebaran Islam di wilayah ini dan sekitarnya.
Intervensi negara-negara kolonial Eropa di Indonesia dan wilayah sekitarnya mempersulit kondisi masyarakat di wilayah ini.
Wilayah Aceh sejak awal telah menjadi incaran negara-negara kolonial Eropa (dimulai dari Portugis) karena posisi geografis dan kekayaan alamnya. Portugis mencapai wilayah tersebut melalui bagian selatan Afrika, dan berusaha menguasa wilayah Aceh untuk mengendalikan rute perdagangan strategis. Portugis telah mencapai wilayah ini dari selatan Afrika dan ingin mengendalikan rute perdagangan. Portugis memiliki keuntungan karena datang membawa senjata api, terutama meriam, dan menggunakannya secara kejam kepada orang-orang tak bersenjata (Alpar, 2015: 221). Sementara itu, penduduk di wilayah ini tidak memiliki kekuatan teknologi dan senjata yang cukup untuk membela diri.
Hubungan yang dimulai dengan para peziarah dari wilayah Indonesia akan dilanjutkan dengan delegasi sejak tahun 1530.
Sejak tahun 1520-an, umat muslim yang tinggal di Indonesia dan sekitarnya pergi ke Mekah dan Madinah untuk menunaikan haji dan bertemu dengan para peziarah dari Istanbul disini. Melalui pertemuan tersebut, mereka berkesempatan untuk mengenal dan mempelajari kekuatan Kesultanan Ottoman, yang kemudian mereka ceritakan kembali di negara mereka. Situasi ini menciptakan simpati dan kesetiaan terhadap bangsa Ottoman di kalangan umat muslim di Indonesia dan sekitarnya. Mereka juga bangga dengan kekuatan dan pengaruh Ottoman yang menjadikan mereka merasa lebih aman. Ketika menghadapi situasi sulit, mereka secara alami mencari bantuan dari Sultan Ottoman, Khalifah Islam di Istanbul, yang memiliki kesamaan keyakinan. Sebenarnya, sejak tahun 1530-an, Sultan Aceh mengirim delegasi ke Istanbul, ibu kota Ottoman, untuk meminta bantuan atas nama umat muslim yang tinggal di wilayah tersebut. Memahami peristiwa interaksi dan hubungan ini penting karena bermakna bahwa pengetahuan geografis dua bangsa ini tidak hanya sebatas mengetahui eksistensi sebuah bangsa asing, tapi juga mengembangkan hubungan antara satu sama lain (Tumertekin dan Özgüç, 2004:1). Sinergi kuat dari analisis sejarah dan geografi dapat digunakan untuk menganalisis peristiwa ini untuk menggali ikatan kuat yang bermanfaat di masa depan (Gümüşçü dan Şenlik, 2014:10).
Dari sudut pandang ini, tidak salah untuk menganggap bahwa hubungan Ottoman-Indonesia dimulai pada tahun 1530.
Meskipun hubungan di tingkat pemerintahan dimulai pada tahun 1530-an, dampak dari bantuan awal ini tidak memadai. Ketika tekanan dari Portugis terus berlanjut, pada tahun 1540, Sultan Aceh, Alaattin, pertama kali mengirim seorang duta besar ke Istanbul untuk meningkatkan jumlah dukungan. Duta besar tersebut tiba di Istanbul pada tahun 1547 dan menyampaikan permohonan bantuan kepada Suleiman I selaku penguasa Kesultanan Ottoman pada saat itu. Sulaiman I kemudian mengirim bantuan ke wilayah Indonesia. Salah satu bentu bantuan tersebut adalah pengiriman ahli cor meriam, ahli pembuat kapal, dan amunisi militer yang berada di bawah komando Lütfi Bey pada tahun 1564.
Permintaan atas bantuan utama masyarakat wilayah Aceh kepada Kesultanan Ottoman tercapai pada tahun 1566.
Pada tanggal tersebut, Sultan Aceh, Alaeddin, menulis surat kepada Suleiman yang Agung di Istanbul dan mengirimkannya bersama dengan delegasi kedutaan yang dipimpin oleh Wazir Hussein. Pada saat itu, bahasa umum di Dunia Islam adalah bahasa Arab dan dalam delegasi tersebut pula ikut serta beberapa orang yang menguasai bahasa Arab. Dasar permintaan tersebut adalah kebutuhan bantuan militer yang pasti dapat mencegah serangan Portugis dan memberikan keunggulan.
Ketika surat tersebut diperiksa secara rinci, tingkat hubungan dan situasi pada masa itu dapat dipahami dengan lebih baik. Dalam suratnya, Sultan Aceh menyatakan bahwa dirinya dan rakyatnya setia kepada Kesultanan Ottoman dan Sultan Ottoman, dan menyebutkan bahwa pengaruh kekuatan Ottoman di wilayah Indonesia sangat besar. Dia juga menekankan bahwa jika Ottoman tidak membantu, umat Islam di wilayah ini akan sangat menderita akibat Portugis, bahwa jalan menuju salib akan terputus dan mereka akan binasa. Surat tersebut sangat jelas dan bermakna yang berlanjut sebagai berikut: “Tolong kirimkan kepada kami meriam yang cukup kuat untuk mengalahkan benteng. Aceh adalah salah satu provinsi Anda dan saya berada di bawah kewenangan Anda. Kami sangat senang dengan Bapak Lütfi dan teman-temannya, yang Anda kirim untuk pelatihan sebelumnya. Tolong kirim mereka kembali ke sini. Artileri yang Anda kirim kepada kami dengan kemurahan hati tiba di sini dengan selamat. Tempat mereka sangat tinggi di mata kami. Kami meminta agar para pembangun benteng dan kapal, yang telah dilatih dengan cara yang sama, dikirimkan kepada kami.”
Dari surat ini, dapat disimpulkan bahwa bahkan selama pemerintahan Suleiman yang Agung, Aceh menerima afiliasinya dengan Kesultanan Ottoman dan bahwa sebuah khutbah disampaikan di wilayah ini atas nama sang Khalifah pada saat itu.
Delegasi dari wilayah Indonesia telah berhasil bertahan dari banyak bahaya yang disebabkan oleh bajak laut dan kapal-kapal Portugal hingga mereka tiba di Istanbul dalam beberapa tahun. Ketika delegasi tersebut tiba di Istanbul, mereka mendapati bahwa Sultan Ottoman, Suleiman I, sedang dalam ekspedisi ke Eropa. Pada masa tersebut, Suleiman yang Agung sedang melakukan Pertempuran Zigetvar. Oleh karena itu, delegasi harus menunggu selama beberapa bulan (sekitar 7 bulan) di Istanbul. Delegasi dengan sabar menunggu hingga berakhirnya pertempuran, dan dalam waktu tersebut, mereka mencover biaya hidup mereka dengan menjual hadiah-hadiah yang mereka bawa untuk Sultan Utsmaniyah. Suleiman yang Agung meninggal dalam pertempuran kemudian digantikan oleh puteranya, Selim II. Delegasi dari wilayah Indoensia menyatakan kesetiaan kepada Selim II dan meminta bantuan darinya. Sementara itu, mereka hanya memiliki satu karung lada Sumatera tersisa di tangan mereka. Mereka memberikannya kepada Selim sebagai hadiah.
Utsmaniyah tidak bisa tetap acuh terhadap penganiayaan yang diterapkan pada orang-orang di wilayah tersebut.
Selim II mengambil surat yang dibawa oleh delegasi dan membacanya. Setelah memahami situasinya, dia memerintahkan delegasi tersebut untuk menyaksikan latihan yang menunjukkan kemampuan militer Utsmaniyah. Dia menulis balasan kepada Sultan Aceh bahwa dia akan memberikan segala bentuk bantuan sebagai seorang Utsmaniyah dan mengirimkannya bersama delegasi tersebut. Sultan Selim II juga menyatakan dalam suratnya bahwa membantu umat Muslim di wilayah tersebut merupakan kewajiban agama dan tradisi bagi Sultan Utsmaniyah. Ketika delegasi menawarkan untuk membayar pajak kepada sultan, jawaban Selim II menjadi catatan sejarah penting: “Kesultanan Utsmaniyah tidak membutuhkan pajak seperti itu. Tapi jika kalian ingin, tetaplah mengumpulkan pajak tersebut dan sebarkanlah kepada orang miskin di negaramu atas nama saya” (İnegöllüoğlu, 1998: 18). Sultan juga meminta delegasi untuk membaca Mevlud di permukiman setiap tahun pada ulang tahun Nabi Muhammad, Nabi dalam Islam, yang hingga kini masih dilaksanakan di wilayah ini.
Kegiatan bantuan dari Utsmaniyah sangat luas.
Utsmaniyah telah memperkuat wilayah tersebut dengan galangan kapal yang mereka dirikan di Suez. Armada yang akan digunakan dalam Kampanye Aceh juga dibentuk di galangan kapal ini dan persiapan telah selesai. Di antara barang-barang yang akan dikirim, terdapat juga prajurit, pelatih, pandai besi, dan meriam canggih, yang telah dibayar gaji setahun di muka. Strategi umum adalah mengajarkan kepada saudara-saudara religius di wilayah Aceh tentang cara penggunaan dan pembuatan meriam, melatih mereka dalam teknologi konstruksi benteng, dan menjadikan mereka pejuang yang lebih tangguh dengan mentransfer budaya ilmu militer untuk melawan penjajah. Sultan Utsmaniyah juga mengirim surat perintah kepada Gubernur Mesir dan Yaman, serta Beylerbeys dari Rhodes, Aden, dan Jeddah, dan memerintahkan mereka untuk membantu delegasi Aceh apabila membutuhkan kuda, persenjataan, dan sebagainya.
Bantuan dari Utsmaniyah berusaha untuk dicegah.
Namun, pihak lain tidak tinggal diam. Selama periode ini, masalah muncul terhadap Utsmaniyah di banyak titik. Selain itu, ketika Armada Utsmaniyah hampir berangkat ke Indonesia, pemberontakan besar dimulai di Yaman oleh Zaydi Imam Topal Mutahhar, mungkin dengan pengaruh kekuatan asing, untuk mencegah bantuan (cukup mengherankan, kita melihat bahwa strategi mencegah bantuan dengan menyebabkan kekacauan di Yaman juga terjadi dengan cara yang serupa ketika terdapat permintaan bantuan yang serupa pada abad ke-19). Bantuan ditunda selama beberapa tahun karena peristiwa pemberontakan ini. Sementara itu, serangan Portugis terus berlanjut. Pada tahun 1570, pasukan 14 kapal di bawah komando kapten Portugis Luiz de Melle menyerang armada sekitar 60 kapal di pelabuhan Aceh, dan lebih dari 1200 orang Aceh, termasuk Pangeran Aceh, tewas dalam serangan ini.
Namun, Utsmaniyah bertekad untuk membantu saudara-saudara agama mereka di wilayah Indonesia apa pun yang terjadi.
Dalam Surat Keputusan Utsmaniyah tertanggal 15 Januari 1568, disebutkan bahwa armada akan pergi ke sana karena pemberontakan pecah di Yaman, dan oleh karena itu ekspedisi ke wilayah Indonesia akan ditunda selama setahun. Kesultanan Utsmaniyah berjanji bahwa ekspedisi akan dilanjutkan dari titik terakhir ketika pemberontakan ditekan, dan situasinya kembali normal. Setelah aksi pemberontakan dapat ditekan di Yaman dan terjadi pemulihan kekuasaan, Utsmaniyah mengirimkan beberapa bantuan ke wilayah Indonesia.
Selama dan setelah periode ini, terdapat beberapa permintaan bantuan kepada Istanbul, namun Utsmaniyah sedang berjuang dengan masalah-masalah mereka sendiri tidak hanya di Laut Merah tetapi juga di Afrika Utara dan wilayah lain di saat yang sama. Selain itu, terdapat pula kendala terkait teknologi pembuatan kapal. Kapal-kapal Utsmaniyah efektif di laut pedalaman, sementara itu, kapal-kapal Portugis lebih unggul di lautan terbuka. Oleh karena itu, kekuatan angkatan laut Utsmaniyah berhasil di Laut Merah, tetapi teknologi kapal Portugis lebih dominan di lautan terbuka seperti Samudra Hindia (Akad, 2005: 30). Meskipun demikian, bantuan ke wilayah Indonesia terus berlanjut hingga abad ke-1900, kendati dengan kapal-kapal yang lebih kecil. Kesultanan Utsmaniyah tidak pernah acuh terhadap populasi Muslim di wilayah ini, bahkan dalam kondisi sulit.
Terlepas dari hambatan dan kesulitan, bantuan dan dukungan yang diberikan pada kegiatan pelatihan memungkinkan pembentukan struktur militer yang kuat di wilayah tersebut.
Muslim di wilayah India juga membantu wilayah ini dengan mematuhi dekrit-dekrit dari Kesultanan Utsmaniyah. Dengan demikian, pengaruh Portugis di wilayah ini terpecah. Dengan pengusiran Portugis dari wilayah tersebut, daerah Sumatera berkembang pesat dalam waktu 30 tahun. Sultan-sultan Utsmaniyah, dengan strategi yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi saat itu, mampu memperbaharui diri mereka sendiri dan berhasil menjaga kelangsungan kesultanan selama ratusan tahun (Babor, 2012: 57).
Pasukan Utsmaniyah yang dikirim kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di wilayah ini. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemandirian penduduk wilayah tersebut, meskipun tidak ada bantuan dari Utsmaniyah pada satu titik. Nama sekolah militer yang didirikan adalah “Beytül Mukaddes”. Sekolah ini merupakan salah satu akademi militer pertama bukan hanya di wilayah tersebut, tetapi dapat jadi juga di seluruh dunia. Para komandan dan laksamana yang sangat sukses dalam pertempuran-pertempuran dilatih di tempat ini. Di antara mereka, terdapat pula para perempuan (İnegöllüoğlu, 1998: 16).
Kita tahu bahwa jumlah meriam yang dikirim oleh Utsmaniyah ke wilayah ini mencapai 1200. (Meriam-meriam ini digunakan secara aktif selama 300 tahun hingga tahun 1850-an. Ketika Belanda datang ke wilayah ini, mereka menggunakan meriam untuk membuat lonceng gereja. Beberapa meriam yang dikirim ke wilayah ini oleh Sultan yang Agung dibawa ke Belanda dan masih dipamerkan di Museum Sejarah Bronbeek di kota Arnhem). Hal ini menunjukkan bahwa bantuan diberikan secara berkelanjutan dan dalam skala yang tidak dapat dianggap remeh. Tentara Utsmaniyah mengajarkan umat Muslim di wilayah ini cara membangun benteng dan menggunakan meriam, dengan seni bela diri mereka sendiri dan pengetahuan mendalam tentang sejarah (Özdal, 2008: 100-104).
Selain itu, Kesultanan Utsmaniyah berkontribusi pada pembentukan kekuatan angkatan laut milik Kesultanan yang kemudian meningkatkan keamanan. Dengan izin yang diberikan dari Istanbul, bendera Türkiye berkibar di kapal-kapal Aceh. Suatu wujud perlawanan rakyat setempat melawan elemen-elemen kolonial. Beberapa tentara Utsmaniyah yang dikirim ke wilayah ini membentuk ikatan kekerabatan dengan penduduk setempat melalui pernikahan. Dengan demikian, jatuhnya wilayah ini ke tangan kolonial Barat tertunda selama beberapa abad. Saat ini, masih ada keluarga-keluarga Utsmaniyah dan desa-desa Türkiye di wilayah-wilayah ini. Juga terdapat pemakaman-pemakaman tentara Utsmaniyah yang gugur dalam pertempuran melawan penjajah bersama dengan masyarakat setempat. Teori-teori dalam bidang hubungan internasional juga membantu memberikan pemahaman tentang dunia melalui perspektif para pelaku (Hollis dan Smith, 1990). Ikatan-ikatan erat di masa lalu ini membentuk pemikiran orang-orang Türkiye dan Indonesia serta membuka pintu bagi ikatan yang lebih kuat untuk masa depan.
Berkat bantuan Ottoman, masyarakat di wilayah tersebut memiliki kesempatan untuk mengembangkan kekuatan perlawanan mereka, yang membuka jalan bagi perkembangan ekonomi wilayah tersebut. Portugis gagal menjajah daerah tersebut. Kekuatan kolonial Belanda yang datang ke wilayah itu kemudian menghadapi perlawanan yang kuat. Hal ini mendorong perasaan bangga atas identitas bagi masyarakat setempat.
Tahun 1800-an merupakan tahun-tahun pemahaman kolonial baru terhadap wilayah tersebut berkembang.
Pada tahun 1824, Inggris membuat perjanjian dengan Belanda yang menghasilkan klaim atas wilayah Singapura dan Malaysia untuk Inggris dan beberapa daerah di pulau Sumatera untuk Belanda. Namun, Belanda mengalami masa-masa sulit menghadapi perlawanan masyarakat di wilayah tersebut. Orang-orang di wilayah tersebut mengadopsi bendera Ottoman sebagai bendera mereka sendiri selama periode ini. Pada tahun 1851, Sultan Aceh, İbrahim Mansur Shah, mengirim delegasi ke Istanbul dan menyampaikan bahwa mereka ingin menjadi provinsi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah. Pada tahun 1871, ketika kekuatan kolonial Belanda meminta mereka untuk menghentikan kesetiaan mereka kepada Kesultanan Utsmaniyah, rakyat memberontak dan melawan sekali lagi.
Kenampakan ikatan erat antara orang Indonesia dan Türkiye yang menjadi epik saat ini.
Bantuan Utsmaniyah ke wilayah tersebut pada masa itu dan ikatan erat yang tercipta bertahan hingga hari ini, diungkapkan dalam gaya epik dalam kajian-kajian berbahasa Melayu dan Indonesia (Affan, 1995: 95-121). Orang Melayu melihat Sultan Ottoman sebagai salah satu penguasa paling kuat di dunia dan menerima Kesultanan Ottoman sebagai pusat budaya Islam yang penting, dalam karya berjudul "Sejerah Malayu." Beberapa keluarga kerajaan Melayu menyebut diri mereka memiliki garis keturunan dan pertalian darah dengan para penguasa Türkiye di Asia Tengah. Narasi epik yang sama juga disebutkan dalam geografi Indonesia (Subjek ini sangat layak untuk diteliti dan terdapat kebutuhan untuk studi yang lebih rinci tentang subjek ini di kedua wilayah).
Akibatnya, kata jauh; Meskipun merupakan istilah geografis yang menggambarkan apa yang jauh, sulit dijangkau dan dijangkau, definisi ini tidak berlaku untuk Indonesia dan Türkiye. Di sisi lain, fakta terkait ikatan erat antara geografi serta masyarakat Türkiye dan Indonesia, yang telah mengakar selama berabad-abad, melampaui istilah dan teori yang diterima di bidang hubungan internasional dan membuka cakrawala baru bagi kedua negara untuk masa depan.
Penulis: Doç. Dr. Güray Alpar
Penerjemah: Arya Alifa Mukti & Miftachur Rohmah
Referensi:
Affan, Seljuk. (1995). Osmanlı İmparatorluğu’nun Malay-Endonezya Takımadalarındaki Müslüman Krallıklarla İlişkileri, Çev. İsmail Hakkı Göksoy, Türk Dünyası Araştırmaları, Şubat 1995.
Akad, Tanju Mehmet. (2005). Osmanlıların Stratejik Sorunları, Kastaş Yayınları: İstanbul.
Alpar, Güray. (2015). Uluslararası İlişkilerde Strateji ve Savaş Kültürünün Gelişimi, Palet Yayınları: Konya.
Baştürk, Sadettin. (2013). Yemen’de Osmanlı Zeydi Mücadelerinin Sebep ve Sonuçları (Reasons and Results of Ottoman and Zaydı’s Struggles in Yemen), Fırat Üniversitesi Orta Doğu Araştırmaları Dergisi Cilt: IX, Sayı:1, 2013: Elâzığ.
Blanchot, Maurice. (2000). Öteye Adım Yok Ötesi, Çev. Nami Başer, Ayrıntı Yayınları: İstanbul.
Gabor, Agoston. (2012). Osmanlı’da Strateji ve Askeri Güç, Timaş Yayınları: İstanbul.
Gümüşçü ve Şenlik. (2014). Temelleri Gelişimi ve Yapısıyla Tarihi Coğrafya, Yeditepe Yayınları: İstanbul.
Hollis Martin and Simith Steve. (1990). Explaining and Understanding International Relationship, Clarendon Press: Oxford.
İnegöllüoğlu, Metin. (1998). Asya-Pasifik’te Türk İzleri, Celal Bayar Üniversitesi Yüksek Öğrenim Vakfı Yayını: Manisa.
Özdal, Ahmet. (2008). Türklerin Savaş Sanatı, Doruk Yayınları: İstanbul.
Tomlinson, John. (2004). Küreselleşme ve Kültür, Ayrıntı Yayınları: İstanbul.
Tümertekin Erol ve Özgüç Naciye. (2004). Beşerî Coğrafya: İnsan, Kültür, Mekân, Çantay Kitabevi: İstanbul.